Ekologi dan Krisis Lingkungan: Antara Eksploitasi Alam dan Seruan Spiritual
GEMA Babakan, Cirebon – Istilah ekologi, yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai ‘ilm bi’ah (ilmu lingkungan), pertama kali dicetuskan oleh ahli biologi Jerman, Ernest Haeckel (1834–1914). Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, kata oikos (habitat) dan logos (ilmu), ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antar makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya.
Namun di tengah perkembangan zaman, kajian ekologi tak lagi sebatas interaksi biologis. Kini, ia menjelma menjadi isu global yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, mulai dari pencemaran lokal hingga krisis iklim dunia.
Dari Krisis Lokal hingga Global
Di tingkat lokal, masyarakat dihadapkan pada persoalan serius seperti pencemaran air, tanah, dan udara. Limbah rumah tangga dan industri, serta emisi kendaraan bermotor, berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas lingkungan. Cadangan air tanah pun terus menurun akibat eksploitasi berlebihan.
Tak hanya itu, hutan Indonesia – khususnya di Kalimantan, Papua, Sumatera, dan Jawa – terus menyusut. Laporan Bank Dunia pada akhir 1980-an mencatat penyusutan sebesar 900.000 hektar per tahun. Angka ini terus meningkat, dan pada 1995, sekitar 72 persen dari hutan Indonesia dilaporkan telah punah.
Di skala global, dunia menghadapi ancaman pemanasan global yang disebabkan oleh efek rumah kaca. Suhu bumi diperkirakan naik 3–5 derajat Celcius. Fenomena ini diperparah oleh penipisan lapisan ozon yang memungkinkan sinar ultraviolet lebih mudah menembus bumi, berisiko menimbulkan penyakit serius seperti kanker.
Akar Pandangan Eksploitatif: Warisan Revolusi Sains dan Industri
Krisis ini tidak terjadi tanpa akar sejarah. Sejak abad XVI–XVIII, pemikiran dunia Barat mulai bergeser. Pandangan dunia
yang sebelumnya menganggap alam sebagai sesuatu yang hidup dan spiritual, berubah menjadi mekanistik – bahwa alam adalah mesin yang dapat ditaklukkan dan dimanfaatkan.
Tokoh seperti Francis Bacon mendorong alam untuk “diburu dan dijadikan budak”, sementara Descartes menyatakan bahwa manusia harus menjadi tuan dan pemilik alam. Newton menyempurnakan pandangan ini dengan menjadikan alam sebagai sistem mekanis yang dapat dimanipulasi sepenuhnya.
Revolusi Industri kemudian membawa kerusakan alam ke tahap yang lebih luas dan sistematis, di mana ilmu dan teknologi dipisahkan dari nilai agama dan spiritualitas.
Kritik dan Seruan Spiritual: Solusi dari Para Pemikir Muslim
Pandangan antroposentrisme – bahwa manusia adalah pusat dan penguasa alam – menjadi sorotan para pemikir Muslim. Murad Hoffman menilai kehancuran lingkungan sebagai akibat dari kesombongan manusia modern yang tidak bertuhan. Seyyed Hossein Nasr menyebut krisis lingkungan sebagai dampak dari desakralisasi alam, di mana alam hanya dilihat sebagai objek pemuas kebutuhan.
Nasr menambahkan bahwa dominasi manusia atas alam menyebabkan masalah serius seperti overpopulasi, rusaknya keindahan alam, hingga gangguan mental masyarakat modern.
Sebagai solusi, keterlibatan agama dan tradisi besar dunia dinilai penting untuk menumbuhkan kesadaran ekologis. Gerakan "spirit hijau" dan ekosofi perlu didorong untuk mengubah pandangan manusia dari antroposentris menjadi antropokosmis – bahwa manusia adalah bagian organik dari alam.
Islam dan Konservasi Lingkungan
Dalam tradisi Islam, konsep mashlahat (kebaikan umum) masih relevan dalam konteks ekologi. Prinsip ini menekankan perlindungan atas lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta – yang semuanya memiliki implikasi ekologis.
Yusuf Qaradhawi menegaskan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari menjaga agama. Merusak alam dianggap sebagai bentuk penodaan terhadap ajaran Syariah. Musthafa Abu-Sway bahkan menyebut bahwa Hifdz al-Bi’ah (pelestarian lingkungan) merupakan tujuan tertinggi dari Syariah.
Sementara itu, Alikodra menempatkan konservasi sebagai pendekatan tengah antara dua ekstrem: preservationist (yang tidak memperbolehkan pemanfaatan alam sama sekali) dan exploiter (yang mengejar keuntungan ekonomi semata). Konservasi, katanya, adalah pengelolaan biosfer yang berkelanjutan demi manfaat generasi kini dan mendatang.
Krisis ekologi bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan paradigma. Ia menuntut perubahan cara pandang terhadap alam dan relasi manusia dengannya. Jika tidak ingin menjadi generasi terakhir yang melihat hijau, manusia harus kembali pada prinsip keseimbangan, spiritualitas, dan tanggung jawab moral terhadap bumi yang menjadi tempat tinggal bersama.
*Catatan Diskusi Keenam GEMA Babakan di MAKJ pada Kamis (31/7/25)
Join the conversation