FAKTOR-FAKTOR FUNDAMENTAL PEMBENTUKAN POLITIK HUKUM
Mahasiswa IPEBA (Institut Pesantren Babakan)
ABSTRAK
Politik dan hukum merupakan dualisme yang saling berpegangan erat di kala menyongsong kehidupan bernegara, dan mempunyai masing-masing kepentingan, nilai-nilai, dan tujuan. Politik hukum sebagai ilmu yang berdiri sendiri, pasti selalu menyangkut bidang ilmu politik dan bidang ilmu hukum, oleh karenanya selalu ada benang merah antara politik dan hukum yang selalu bersinggungan dan saling berhubungan. Baik itu di lihat dari faktor filosofis, sosiologis, yuridis. Dan selanjutnya akan di sebut hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas antara politik dan hukum adalah hubungan timbal balik dan saling ketergantungan. Hukum dapat menjadi penentu kegiatan politik, karena politik harus tunduk pada aturan hukum. Namun, hukum juga dipengaruhi oleh politik, karena hukum seringkali merupakan hasil dari proses politik dan kepentingan politik yang saling berinteraksi.
Kata kunci: faktor, politik, hukum.
ABSTRACT
Politics and law are a dualism that are closely intertwined in the face of national life, each possessing its own interests, values, and goals. As a distinct discipline, legal politics inevitably involves both political science and law. Therefore, there is always a common thread between politics and law, which intersects and is interconnected. This can be seen from philosophical, sociological, and juridical perspectives. This will then be referred to as a causal relationship. The causal relationship between politics and law is reciprocal and interdependent. Law can be a determinant of political activity, as politics must comply with legal regulations. However, law is also influenced by politics, as it is often the result of political processes and interacting political interests.
Keywords : factors, politics, law.
PENDAHULUAN
Politik dan hukum merupakan dua entitas yang tidak bisa terpisahkan, karena di antaranya tercipta kausalitas yang kompleks serta menjadi aspek keberlangsungan kehidupan bernegara. Politik tidak bisa berjalan dengan tidak adanya hukum sebaliknya hukum tidak bisa merealisasikan nilai-nilai dan normanya jika tidak ada politik. Dalam jurnal ini yang berjudul faktor-faktor fundamental politik hukum, berarti menggambarkan faktor-faktor dasar dan tidak bisa diubah daripada politik dan hukum. Dalam hal ini konfigurasi politik juga menjadi hal yang paling signifikan yang mengatur berjalannya hukum dalam tatanan pemerintahan.
Dan dalam hal politik hukum Indonesia masih dibayangin oleh tradisi kolonialisme dan itu masih sulit untuk di elakkan, karena Dalam praktik penyusunan peraturan perundang-undangan, seringkali norma hukum yang dijabarkan secara eksplisit tampaknya bersifat kaku dan terbatas, kendati pelaksanaannya masih memberikan ruang bagi hakim untuk menafsirkannya. Hal ini dikarenakan proses kodifikasi norma hukum selalu dibuat dalam keadaan yang tidak sempurna. Faktor-faktor yang lebih fundamental lagi yaitu hubungan kausalitas dari politik-hukum dan hukum progresif di Indonesia.
PEMBAHASAN
1. HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA POLITIK DAN HUKUM
Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase. Bila diibaratkan benda ia bagaikan permata, yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya. Bernard Arief Sidharta menyebutkan bahwa, hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan, dan sebagainya)dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan sifat masyarakat itu sendiri.
Dalam pembentukan suatu norma hukum, termasuk di dalamnya adalah undang-undang dapat berlaku beberapa faktor yang dapat merumuskan politik hukum di dalamya, yaitu:
1. Politik Hukum Karena Faktor Filosofis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pandangan Hans Kelsen mengenai ”gerund-norm” atau dalam pandangan Hans Nawiasky tentang "staats fundamental norm", pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari Segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan.
2. Politik Hukum Karena Faktor Juridis
Keberlakuan juridis adalah keberlakuan norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sesuatu dogma. yang dilihat dari pertimbangan bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila norma hukum sendiri memang (i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans Kelsen dengan teorinya “Stuffenbau Theorie des Recht” (ii) ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann (iii) ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku seperti dalan pandangan W. Zevenbergen, dan (iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis.
3. Politik Hukum Karena Faktor Politis
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele machtsfactoren). Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik.
4. Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini cenderung lebih mengutamakan
Pendekatan yang empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan (recognition theory), (ii) kriteria penerimaan (reception theory), atau (iii) kriteria faktisitas hukum. Kriteria pertama (principle of recognition) menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya.
Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh pertimbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.
Pada era Soekarno, politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada zaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Pada sisi lain, hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum.
Mahfud MD mengatakan, bahwa relasi hukum dan politik dapat dibagi menjadi tiga model hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum determinan atas politik kerena setiap agenda politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, sebagai das sein, politik determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum yang ada di depan kita tak lebih dari kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing. Ketiga, politik dan hukum berhubungan secara interdeterminan karena politi
B. Hukum Progresif di Indonesia
Dalam hukum progresif, perilaku diakui sebagai komponen kritikal, terutama dalam pelaksanaan keadilan. Di Indonesia, pengalaman dalam ranah hukum cenderung didominasi oleh aspek legalitas ketimbang nuansa perilaku. Pendekatan terhadap proses hukum sering kali lebih berfokus pada regulasi ketimbang mempertimbangkan perilaku para pihak yang terlibat. Dalam menanggulangi kebuntuan, pentingnya mempertimbangkan segi perilaku setara dengan perhatian pada komponen peraturan ditekankan. Sebuah sistem hukum dianggap belum sempurna jika hanya berisikan komponen peraturan, institusi, dan struktur tanpa memasukkan aspek perilaku. Dengan melibatkan semua elemen tersebut, keseluruhan sistem hukum akan lebih efektif dan holistik dalam aplikasinya
Maksudnya hukum progresif di indonesia adalah gambaran umum tentang adanya peran politik yang berjalan untuk kepentingan hukum positif, serta penegakkan hukum di indonesia.
Seperti yang tadi di sebut bahwa Perilaku merupakan komponen esensial yang mendukung evolusi hukum, yang memerlukan pemahaman mendalam tentang peran perilaku dalam proses tersebut. Sejarah telah menunjukkan bahwa faktor-faktor tertentu mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum di Indonesia.
1. Dari segi substansi, hukum di Indonesia (termasuk undang-undang dan regulasi sekunder) menunjukkan sifat reaktif dan kurang mengantisipasi masa depan.
2. Dalam praktik penegakan hukum, Indonesia sering kali menunjukkan sikap toleran dan pasif, khususnya dalam menangani individu yang memiliki reputasi dan posisi kekuasaan yang signifikan.
C. Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan Hukum Progresif
Mengungkapkan bahwa mekanisme hukum kita sepenuhnya berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum kolonial merupakan pernyataan yang tidak akurat. Sistem peradilan kita dapat diibaratkan sebagai “gado-gado”, menandakan adanya perpaduan. Sistem ini tidak hanya berakar pada warisan kolonial, tetapi juga berupaya untuk merumuskan dan menerapkan ide-ide dalam ranah hukum progresif. Langkah ini merupakan prosedur yang sesuai bagi suatu negara yang tengah mencari bentuk ideal dari sistem hukumnya sendiri, mengingat proses pencarian identitas hukum yang ideal masih berlangsung.
D. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Progresif
Kemunculan hukum progresif dalam wacana ilmu hukum tidak terjadi secara kebetulan atau muncul begitu saja dari nirwana. Peran hukum progresif ini merupakan elemen esensial dalam proses penemuan kebenaran yang terus-menerus berlangsung.
Diasumsikan dalam hukum progresif bahwa hukum diciptakan demi kepentingan manusia, dan bukan manusia yang harus tunduk pada hukum. Peranan hukum tidak eksklusif demi kepentingannya sendiri; tujuannya lebih luas dan signifikan. Sebagai entitas yang tidak absolut dan final, hukum terus mengalami transformasi dan pembaharuan, yang menegaskan bahwa hukum merupakan suatu proses yang berkelanjutan serta pembentukan hukum yang progresif.Kristiana telah menguraikan ciri-ciri dari hukum progresif melalui pemaparan berikut ini :
a) Asumsi Dasar, yang meliputi:
1. Hukum diciptakan demi kepentingan manusia, bukan manusia yang tunduk pada hukum;
2. Hukum tidak merupakan entitas yang absolut dan definitif;
b.) Tujuan Hukum, untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
c.) Arti Progresivitas, yakni:
1. Hukum yang terus berkembang dan dinamis (law in the making);
2. Hukum harus responsif terhadap dinamika perubahan sosial, baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional;
3. Penolakan terhadap kondisi status quo apabila kondisi tersebut memicu kemunduran.
d). Karakter, meliputi:
1. Studi hukum progresif berupaya memindahkan fokus dari analisis hukum yang bersifat normatif ke observasi perilaku sosial.
2. Secara eksplisit, hukum progresif menegaskan keterkaitannya yang mendalam dengan individu dan komunitas.
3. Hukum progresif bersinergi dengan Legal Realism, di mana hukum dilihat bukan melalui lensa hukum itu sendiri.
4. Hukum progresif berkaitan erat dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe
Pound, yang menelaah hukum tidak hanya dari perspektif peraturan, tetapi lebih luas.
5. Hukum progresif juga berkorelasi dengan teori hukum alam dalam beberapa aspek prinsipnya.
E. Peran Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum Progresif di Indonesia.
Mengungkapkan bahwa mekanisme hukum kita sepenuhnya berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum kolonial merupakan pernyataan yang tidak akurat. Sistem peradilan kita dapat diibaratkan sebagai “gado-gado”, menandakan adanya perpaduan. Sistem ini tidak hanya berakar pada warisan kolonial, tetapi juga berupaya untuk merumuskan dan menerapkan ide-ide dalam ranah hukum progresif.
Langkah ini merupakan prosedur yang sesuai bagi suatu negara yang tengah mencari bentuk ideal dari sistem hukumnya sendiri, mengingat proses pencarian identitas hukum yang ideal masih berlangsung. Sebagai akibatnya, hukum kita harus tetap beradaptasi dengan kemajuan, atau dengan ungkapan lain, evolusi hukum harus sinkron dengan evolusi sosial. Pernyataan Roscoe Pound yang mengemukakan bahwa hukum merupakan “instrumen rekayasa sosial” sangatlah relevan. Ini menegaskan bahwa kebijakankebijakan yang diterapkan adalah manifestasi dari peran politik hukum di era modern. Variasi lainnya, terutama untuk mempertajam pemahaman bahwa hukum tidak hanya terdiri dari aspek legal prosedural tetapi juga substansial, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pancasila, dengan Sila pertamanya yang menekankan pada aspek Ketuhanan, menuntut adanya sistem hukum yang berbasis pada nilai-nilai Ketuhanan. Hukum, di sini, seharusnya mencerminkan perwujudan keadilan yang dimiliki oleh masyarakat luas, yang mencakup keadilan sosial yang dapat diterima dan berkontribusi pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
b. Pasal 28 D Amandemen UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “Setiap individu berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang egaliter di mata hukum.” Penyusunan norma ini mengemukakan dengan jelas bahwa “kepastian hukum yang adil” mencakup kepastian hukum yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Ketuhanan, yang dikenal sebagai material certainty legality.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tentang hukum progresif di indonesia, tampak bahwa peran politik hukum di negara kita telah mendukung pengembangan hukum progresif, meskipun masih terdapat kebutuhan untuk peningkatan baik dalam segi jumlah maupun mutu. Saat ini, terutama dalam konteks pembangunan hukum progresif, politik hukum, yang bersifat sementara, telah berhasil menanamkan paradigma hukum progresif.
Moh. Mahfud MD mengatakan dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum, bahwa dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfuz, A. L. (2019). Faktor yang mempengaruhi politik hukum dalam suatu pembentukan undang-undang, 45-47.
Sarampaet, M. I., Harahap, H. H., & Lubis, F. (2024). Peran politik hukum dalam pembangunan hukum progresif di indonesia.
Join the conversation