Secercah Dalam Sayap-Sayap Patah (Resume Novel Kahlil Gibran)

 


Oleh : Hadad Fauzi Musthofa

“Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia ini karena ia begitu mengangkat jiwa sehingga aturan-aturan kemanusiaan dan gejala alam tidak membelokkan dirinya”

Kalimat ini yang tertuang di lembar awal dalam buku Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran yang semula dalam Bahasa Arab (Al-Ajnihah Al-Mutakassirah, terbit kali pertama pada tahun 1922; versi bahasa Inggrisnya berjudul Broken Wings) kemudian dialih bahasakan oleh Sapardi Djoko Damono seorang sastrawan Indonesia ternama. Novel ini tidak sedikit membawa orang disetiap membacanya untuk benar-benar meresapi langkah epic yang terjadi. memuat, kisah sepasang kekasih yang dalam dunia percintaannya tidak bersatu, dengan berbagai halangan dan rintangan yang dilewati didalamnya terdapat unsur politik, budaya, tradisi yang tabu dan ketidakadilan yang menimpa keduanya. Sederhana, namun penuh makna, setiap bahasanya membawa energik puitik yang dalam seakan pembaca akan dibawa dalam dunia lain yang tidak biasa dan begitu indah.

Didalamnya terdapat beberapa tokoh, diantaranya Gibran sendiri, Farris Efandy Karamy, Selma Karamy, Uskup dan Mansur Bey Galib. Sebenarnya dalam novel tersebut Cinta adalah tema utamanya, tetapi Gibran sendiri menyelipkan berbagai masalah yang berkaitan dengan nasib perempuan, seperti penindasan, ketidakadilan, dan korupsi yang terjadi di Libanon. Huru-hara yang terjadi pada kisah ini bersumber pada penguasa Agama, yakni Uskup itu sendiri. Gibran juga Menyinggung masalah moral yang muncul justru karena ulahnya masyarakat yang telah menciptakan aturan dan hukum yang pada akhirnya membelenggu dirinya sendiri.

 Berawal disaat Gibran berusia 18 tahun, ia mengenal sesosok wanita yang telah membuka dan menarik hatinya dengan begitu dalam, yakni Selma Karamy. Dalam bab pertamanya buku ini seakan mengisahkan alur mundur seperti sebuah kesimpulan topik yang dijalaninya bersama Selma. Cinta yang begitu luas akan tetapi karam dengan keadaan yang menerjang, serta menghantam keduanya.

Pada tangan nasib, ketika Gibran bersama temannya mengunjungi satu rumah, rumah itu adalah kediaman seseorang yang kaya raya dan dermawan yang bernama Farris Efandy Karamy lelaki tua yang berusia enam puluh lima tahun. Diawal pertemuan itu Gibran merasa ditatap dalam-dalam oleh orang tua tersebut. Seakan tatapan dalam itu mengingkatkannya pada membaca masa lampau entah wajah Gibran sendiri bagi Farris Efandy Karamy seakan menyimpan kisah yang mengingatkannya kepada teman lamanya. Kemudian ia berkata “Kau adalah anak seorang sahabat baikku, dan aku gembira melihat teman baikku di dalam dirimu”.

Gibran pun termengu, seketika itu laki-laki tua tersebut menceritakannya kepada Gibran kisahnya dahulu bersama ayahnya, setelah laki-laki tua itu pergi Gibran bertanya kepada temannya untuk sedikit menceritakan orang tua tersebut. Dikethui Farris Efandy Karamy adalah orang yang kaya nan dermawan dia baik hati dan patuh terhadap Agama ia juga mempunyai seorang anak yang cantik dan baiknya sama seperti ayahnya. Anaknya bernama Selma Karamy perempuan yang anggun yang pandai tetapi dari kedua orang tersebut ayah dan anaknya menjadi incaran seorang Uskup dan kemenakannya yang keji yang hanya mengincar harta dan kecantikan anaknya. Ini seperti domba yang berlarian di lading yang bebas akan ada masanya pengembala mengambil haknya, keduanya (Uskup dan Kemenakannya) yang berlindung dibalik tirai Agama sebagai bahasa yang suci yang tidak terlawankan oleh siapa pun.

Dengan pertemuan itu tadi, Gibran seakan harus menapaki serta menjalani janji dan tertarik oleh kisah yang disampaikan oleh Farris Efandy Karamy akhirnya ia meniatkan diri untuk sesekali mengunjungi rumah tersebut. Suatu ketika dalam pertemuan kedua kalinya Gibran seraya memnadang seseorang yang cantik yang memakai gaun sutra yang anggun, dan saat itu pulalah Farris Efandy Karamy memperkenalkan ia dengan putrinya tadi yang bernama Selma. Dalam pertemuan pertama itu mata menjelma cinta menusuk dalam ruang yang dalam. Buih-buih yang timbul beralaskan cerita satu sama lain yang tak asing antara nyawa ayah keduanya seakan pertemuan yang awal itu sedari dulu sudah ditanam dengan sama-sama menceritakan kisah yang akhrinya membuat sinergi yang dalam bahwa sedari dulu kita sudah dipertemukan dengan roh yang menyatu sama lain.

Hari-hari berikutnya rasa yang berdebar yang sebelumnya tidak dirasakan oleh Gibran kini mulai timbul sesaat melihat Selma. Yang sebelumnya ia tidak merasakan getaran yang teramat dahsyat akhirnya dengan seringya pertemuan itu seakan hati terus saja ingin menlisik lebih dalam soal perasaan yang ada, mata-mata yang saling memandang satu sama lain akhirnya pecah pada kisah buaian cinta yang terukur.

Masih dalam susana yang harmoni Farris Efandy Karamy senantiasa membersamai pertemuan Gibran dan anaknya Selma yang ia rasakan adalah kebersamaan yang menjalin satu sama lain, makan bersama bercerita dan dibalik itu Gibran rupanya menanam rasa cinta terhadap Selma. Sampai pada suasana yang agung. Tiba-tiba prahaha datang dengan kereta kudanya. Ini seperti petir menyambar disiang bolong tanpa hujan pintu terketuk dan semua diam, tiba-tiba seorang utusan berkumis tebal mendekati dan menjemput Farris Efandy Karamy ia disuruh menghadap Uskup untuk membicrakan sesuatu yang teramat penting tuturnya. Dalam posisi itu Gibran dan Selma masih menikmati keharmonisan yang alam berikan terhadap keduanya.

kereta itu pergi membawa ayah Selma menuju panggilan Uskup. Gibran dan Selma memnadang perlahan setiap putaran roda yang membawa Farris Efandy Karamy menuju Uskup. Gibran sendiri tidak meninggalkan Selma begitu saja, ia dipesankan oleh ayahnya untuk menemai Selma sampai ia datang. Ayahnaya berkata “Ku harap kau masih di sini sampai aku kembali karena Selma pasti menikmati kehadranmu ditempat yang sunyi ini”.

Selang bebrapa waktu kereta itu datang kembali dan Farris Efandy Karamy perlahan turun mendekati dan masuk ke rumahnya, dalam Susana yang hening buah tangan pun didapat, dalam nada yang seakan gelisah kabar yang didapatnya adalah bahwa ternyata sang Uskup memintamu untuk menikahkan dan merenggut mu dari dekapan ayahmu ini Selma, engkau akan pergi dan menjadi asing di rumah ini, di hadapanku dan jendelea-jendela yang ada di sudut kenanagan ini. Ada laki-laki yang akan menjemputmu demi tugas kesuciannya yang tidak terlawan, ia akan menjadikanmu tawanan dirumahnya, hidup bersamanya, dan aku akan menjadi asing bagimu Selma. Mendengar kabar itu Selma tak mengerti, apa yang ayah lakukan kepadaku, siapa yang ayah sebut itu. Sekian waktu, Selma akhirnya mengerti bahwa Uskup memintanya untuk menjadikan Selma sebagai Istri dari kemenakannya yang bernama Mansur Bey Galib.

Bak angin yang datang menerjang, pembicaraan itu Gibran mendengarnya dengan teilnga telanjang, akhrinya Farris Efandy Karamy mendekatinya dengan nada lirih, maafkan aku Gibran malam ini aku sudah menganggu kenyamananmu terlebih soal kabar yang barusan engkau dengar tadi. Gibran terpukul dengan beribu bingung, meski demikian disaat-saat itu pula Farris Efandy Karamy tetap, masih menawarkan bahwa apakah engkau akan pergi selamanya atau masih setia mengunjungiku seperti ayahmu itu meski Selma nantinya tidak ada di rumah ini, Gibran menganggukkan kepalanya meski sedang mencekik duka yang mendalam. Akhirnya dengan berat hati ia pergi dengan kaki-kaki yang bergetar yang setengah tertatih. Tahu rasanya bahwa seseorang mengambil cintanya di atas nama Agama dan kepatuhan yang padahal dari niat kesemua itu ia tahu betapa terpenjaranya belahan hatinya. Akan tetapi nasib berkata lain layaknya daun yang menguning dan gugur ke bumi bahwa cinta juga bukan hanya soal kepemilikan, lebih dari itu ternyata cinta juga sebuah penyerahan.

Singkat cerita, akhirnya pernikahan itu terjadi Selma dan Gibran dipisahkan dengan jani tali percintaannya. Pertemuan itu hanya ada pada angan-angan dan mimpi semata karena pada hakiktanya pertemuan itu tidak akan pernah terulang kembali dalam dekapan siang baik pun malam di bawah temaram rembulan atau teriknya sang surya. Hingga beberapa waktu lamanya Gibran kembali mengunjungi rumah Selma menengok kerabat ayahnya dalam suasana itu seorang yang sudah lunglai terbaring sakit dihibur oleh kedatangan Gibran dan Selma namun apalah daya dalam pertemuan yang terkahir ini Farris Efandy Karamy menghembuskan nafas terkahirnya, dahsyat seorang Selma yang dalam hidupnya dikurung pada sangkar yang menurutnya penjara baginya dan kehilangan seorang laki-laki terkuat yang dijadikannya tempat untuk sandaran dirinya ketika badai bergejolak, sebagai perisai ketika panah kehidupan menusuk hatinya, sisi lain ia sudah ditinggalkan ibunya sejak kecil kini ia juga harus ditinggalkan oleh ayahnya.

Akan tetapi meski dalam kedaan yang menjerit, di dalam hati kedunya Selma dan Gibran masih tertanam benih cinta yang abadi ia nyatanya dipisahkan oleh nasib tetapi roh dan nyawanya masih menyatu dalam jiwa-jiwa yang terbang bebas di angkasa, kisah cinta yang abadi memang tertanam begitu dalam dan hanya bagi mereka mutiara-mutiara yang terpendam yang sulit ditemukan.

Sesekali sekian tahun lamanya sikap bengis Uskup dan kemenaknnya yang hanya mengincar harta ayah Selma membuatnya muak, dalam hati Mansur Bey Galib yang keji yang sering memainkan wanita lain yang padahal Selma sendirilah sebagai istrinya. Dan atas dasar itu rasa yang terkurung bagi Selma menjadi nyata adanya ia terpenjara sedalam-dalamnya tetapi dalam penghiburannya ia masih menyimpan hati seorang laki-laki tiada lain ia bernama Gibran.

Akhrinya dalam alur yang sekian rumit yang di jalani Selma setelah mendiang ayahnya tiada dan sifat Mansur Bey Galib menjadi-jadi, diam-diam Selma dan Gibran selalu bertemu di dalam kuil. Ia mencuraahkan rindu yang teramat terpendam bertemu sua satu sama lain bercerita bahkan berpeluk mesra untuk meleburkan hatinya satu sama lain, pertemuan itu sering terjadi hingga pada masanya. Pertemuan itu bocor dan dikethuai oleh Uskup dan Kemenaaknnya. Akhrinya Gibran berinisiatif untuk mengajak Selma kabur meninggalkan tempat ini, agar senantiasa ia selalu bisa bersama keduanya dengan negoisasi yang harmonic, namun Selma menolaknya dikarenakan jika ia terjadi dan diketahui oleh Uskup maka tidak tanggung- tanggung Gibran sendiri akan menerima resiko yang sangat berat. Selma tidak mau akan hal itu terjadi.

Bukankah cinta untuk dirinya sendiri, bahkan dari dirimu sendiri, aku menemukan bahwa cinta kita sedalam laut, dan setinggi bintang dan seluas langit, cinta untuk dirinya sendiri, melindungi dirinya sendiri, dan kebenaran itu adalah keluasan hati yang membuat perbuatan kita semua menjadi indah dan mulia, cinta tidak harus bersama namun kita tetap bersama meski tidak bersama. Akhirnya perpisahan itu pecah dengan mengikhlaskan bahwa kita harus berpisah dalam raga namun tidak bagi hati.

Lima tahun berlalu dalam rumah tangga melahirkan keturunan adalah harta yang mewah untuk melanjutkan trah selanjutnya. Namun tidak bagi Selma ia dibenci oleh Mansur Bey Galib karena ia belum bisa memberikannya keturunan, namun dalam harapan yang panjang, tabah serta sabar akhirnya dalam do’a yang panjang dan usaha Selma pun mengandung dan melahirkan anak perempuan. Namun siapa sangka bahwa kelahiran itu hanya sehari memberikan kebahagiaan bagi keluaarga Uskup dan kemenakannya. Sesaat bayi itu lahir dalam prosesnya yang hangat hal yang terjadi atas kehendak Tuhan, dalam semalam lahir sampai sesaat matahari menggantikan tugas rembulan, pagi itu sang bayi mengehmbuskan hidupnya. Selma yang tahu dan menerima kenyataan ini ia sejadinya menangis meski diluar sedang merayakan pesta yang teramat besar namun tidak baginya, di dunia ini ia hanya merasa terpenjara oleh budaya dan adat yang meluakai dirinya sendiri, dalam keadaan itu akhrinya selma menangis sedih sesedihnya sembari memeluk anaknya yang sudah tiada bernyawa itu, dalam dekapan itu Selma berkata. Anakku engkau cukup menjadi penghiburku dalam sehari ini kenapa engkau pergi atau engkau tahu bahwa tiadalah di dunia ini yang engkau rasakaan akan sama seperti apa yang aku rasakan. Jika memang itu baik dan tahu akan kisahnya ajaklah aku dan mari meninggalkan dunia yang termat keji bak penjara yang tidak adil bagi kami, mari anakku. Saat itulah Selma pun ikut mengehmbuskan nafas terakhrinya bersama anaknya dalam dekapan yang termat dalam yang menjadi akhir perjalanan Selma di dunia. Meski dalam Susana duka sang keji ternyata Uskup itu esoknya ia akan menihkahkan kembali kemenaknnya itu dengan perempuan yang lebih kaya dan kuat menurutnya ketimbang dengan Selma.

Lalu bagaimana dengan Gibran yang mendengar kabar ini. Ia bergegas menuju pemakaman dan menyaksikan penguburan Selma, pemakaman yang teramat syahdu pasalnya dalam satu liang lahat, Selma yang memeluk bayinya ternyata berada di tepat atas almarhum ayahnya yakni Farris Efandy Karamy. Tidak berhenti disitu meski dalam keadaan yang sunyi seketika semua orang pergi hanya meyisahkan seorang penggali kubur dan Gibran semata yang akhirnya dalam susana tersebut Gibran berlutut dan menjatuhkan diri di atas makam Selma dan meratap hingga Gibran berkata pada penggali kubur. “Engkau juga menguburkan hatiku”.

“Hati seorang perempuan tidak akan berubah bersama waktu dan musim, bahkan jika ia mati ia tidak akan pernah binasa, hati seorang perempuan seperti sebuah ladang yang dijadikan medan pertempuran, setelah pohon-pohon ditumbangkan dan rumput dibakar dan batu-batu menjadi merah karena darah dan bumi ditanami tulang dan terngkorak hati itu tenang dan hening seakan akan tak ada yang terjadi. Katena musim gugur dan musim semi datang berganti-ganti tak kenal henti”

Secercah Dalam Sayap-Sayap Patah

“Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia ini karena ia begitu mengangkat jiwa sehingga aturan-aturan kemanusiaan dan gejala alam tidak membelokkan dirinya”

Kalimat ini yang tertuang di lembar awal dalam buku Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran yang semula dalam Bahasa Arab (Al-Ajnihah Al-Mutakassirah, terbit kali pertama pada tahun 1922; versi bahasa Inggrisnya berjudul Broken Wings) kemudian dialih bahasakan oleh Sapardi Djoko Damono seorang sastrawan Indonesia ternama. Novel ini tidak sedikit membawa orang disetiap membacanya untuk benar-benar meresapi langkah epic yang terjadi. memuat, kisah sepasang kekasih yang dalam dunia percintaannya tidak bersatu, dengan berbagai halangan dan rintangan yang dilewati didalamnya terdapat unsur politik, budaya, tradisi yang tabu dan ketidakadilan yang menimpa keduanya. Sederhana, namun penuh makna, setiap bahasanya membawa energik puitik yang dalam seakan pembaca akan dibawa dalam dunia lain yang tidak biasa dan begitu indah.

Didalamnya terdapat beberapa tokoh, diantaranya Gibran sendiri, Farris Efandy Karamy, Selma Karamy, Uskup dan Mansur Bey Galib. Sebenarnya dalam novel tersebut Cinta adalah tema utamanya, tetapi Gibran sendiri menyelipkan berbagai masalah yang berkaitan dengan nasib perempuan, seperti penindasan, ketidakadilan, dan korupsi yang terjadi di Libanon. Huru-hara yang terjadi pada kisah ini bersumber pada penguasa Agama, yakni Uskup itu sendiri. Gibran juga Menyinggung masalah moral yang muncul justru karena ulahnya masyarakat yang telah menciptakan aturan dan hukum yang pada akhirnya membelenggu dirinya sendiri.

 Berawal disaat Gibran berusia 18 tahun, ia mengenal sesosok wanita yang telah membuka dan menarik hatinya dengan begitu dalam, yakni Selma Karamy. Dalam bab pertamanya buku ini seakan mengisahkan alur mundur seperti sebuah kesimpulan topik yang dijalaninya bersama Selma. Cinta yang begitu luas akan tetapi karam dengan keadaan yang menerjang, serta menghantam keduanya.

Pada tangan nasib, ketika Gibran bersama temannya mengunjungi satu rumah, rumah itu adalah kediaman seseorang yang kaya raya dan dermawan yang bernama Farris Efandy Karamy lelaki tua yang berusia enam puluh lima tahun. Diawal pertemuan itu Gibran merasa ditatap dalam-dalam oleh orang tua tersebut. Seakan tatapan dalam itu mengingkatkannya pada membaca masa lampau entah wajah Gibran sendiri bagi Farris Efandy Karamy seakan menyimpan kisah yang mengingatkannya kepada teman lamanya. Kemudian ia berkata “Kau adalah anak seorang sahabat baikku, dan aku gembira melihat teman baikku di dalam dirimu”.

Gibran pun termengu, seketika itu laki-laki tua tersebut menceritakannya kepada Gibran kisahnya dahulu bersama ayahnya, setelah laki-laki tua itu pergi Gibran bertanya kepada temannya untuk sedikit menceritakan orang tua tersebut. Dikethui Farris Efandy Karamy adalah orang yang kaya nan dermawan dia baik hati dan patuh terhadap Agama ia juga mempunyai seorang anak yang cantik dan baiknya sama seperti ayahnya. Anaknya bernama Selma Karamy perempuan yang anggun yang pandai tetapi dari kedua orang tersebut ayah dan anaknya menjadi incaran seorang Uskup dan kemenakannya yang keji yang hanya mengincar harta dan kecantikan anaknya. Ini seperti domba yang berlarian di lading yang bebas akan ada masanya pengembala mengambil haknya, keduanya (Uskup dan Kemenakannya) yang berlindung dibalik tirai Agama sebagai bahasa yang suci yang tidak terlawankan oleh siapa pun.

Dengan pertemuan itu tadi, Gibran seakan harus menapaki serta menjalani janji dan tertarik oleh kisah yang disampaikan oleh Farris Efandy Karamy akhirnya ia meniatkan diri untuk sesekali mengunjungi rumah tersebut. Suatu ketika dalam pertemuan kedua kalinya Gibran seraya memnadang seseorang yang cantik yang memakai gaun sutra yang anggun, dan saat itu pulalah Farris Efandy Karamy memperkenalkan ia dengan putrinya tadi yang bernama Selma. Dalam pertemuan pertama itu mata menjelma cinta menusuk dalam ruang yang dalam. Buih-buih yang timbul beralaskan cerita satu sama lain yang tak asing antara nyawa ayah keduanya seakan pertemuan yang awal itu sedari dulu sudah ditanam dengan sama-sama menceritakan kisah yang akhrinya membuat sinergi yang dalam bahwa sedari dulu kita sudah dipertemukan dengan roh yang menyatu sama lain.

Hari-hari berikutnya rasa yang berdebar yang sebelumnya tidak dirasakan oleh Gibran kini mulai timbul sesaat melihat Selma. Yang sebelumnya ia tidak merasakan getaran yang teramat dahsyat akhirnya dengan seringya pertemuan itu seakan hati terus saja ingin menlisik lebih dalam soal perasaan yang ada, mata-mata yang saling memandang satu sama lain akhirnya pecah pada kisah buaian cinta yang terukur.

Masih dalam susana yang harmoni Farris Efandy Karamy senantiasa membersamai pertemuan Gibran dan anaknya Selma yang ia rasakan adalah kebersamaan yang menjalin satu sama lain, makan bersama bercerita dan dibalik itu Gibran rupanya menanam rasa cinta terhadap Selma. Sampai pada suasana yang agung. Tiba-tiba prahaha datang dengan kereta kudanya. Ini seperti petir menyambar disiang bolong tanpa hujan pintu terketuk dan semua diam, tiba-tiba seorang utusan berkumis tebal mendekati dan menjemput Farris Efandy Karamy ia disuruh menghadap Uskup untuk membicrakan sesuatu yang teramat penting tuturnya. Dalam posisi itu Gibran dan Selma masih menikmati keharmonisan yang alam berikan terhadap keduanya.

kereta itu pergi membawa ayah Selma menuju panggilan Uskup. Gibran dan Selma memnadang perlahan setiap putaran roda yang membawa Farris Efandy Karamy menuju Uskup. Gibran sendiri tidak meninggalkan Selma begitu saja, ia dipesankan oleh ayahnya untuk menemai Selma sampai ia datang. Ayahnaya berkata “Ku harap kau masih di sini sampai aku kembali karena Selma pasti menikmati kehadranmu ditempat yang sunyi ini”.

Selang bebrapa waktu kereta itu datang kembali dan Farris Efandy Karamy perlahan turun mendekati dan masuk ke rumahnya, dalam Susana yang hening buah tangan pun didapat, dalam nada yang seakan gelisah kabar yang didapatnya adalah bahwa ternyata sang Uskup memintamu untuk menikahkan dan merenggut mu dari dekapan ayahmu ini Selma, engkau akan pergi dan menjadi asing di rumah ini, di hadapanku dan jendelea-jendela yang ada di sudut kenanagan ini. Ada laki-laki yang akan menjemputmu demi tugas kesuciannya yang tidak terlawan, ia akan menjadikanmu tawanan dirumahnya, hidup bersamanya, dan aku akan menjadi asing bagimu Selma. Mendengar kabar itu Selma tak mengerti, apa yang ayah lakukan kepadaku, siapa yang ayah sebut itu. Sekian waktu, Selma akhirnya mengerti bahwa Uskup memintanya untuk menjadikan Selma sebagai Istri dari kemenakannya yang bernama Mansur Bey Galib.

Bak angin yang datang menerjang, pembicaraan itu Gibran mendengarnya dengan teilnga telanjang, akhrinya Farris Efandy Karamy mendekatinya dengan nada lirih, maafkan aku Gibran malam ini aku sudah menganggu kenyamananmu terlebih soal kabar yang barusan engkau dengar tadi. Gibran terpukul dengan beribu bingung, meski demikian disaat-saat itu pula Farris Efandy Karamy tetap, masih menawarkan bahwa apakah engkau akan pergi selamanya atau masih setia mengunjungiku seperti ayahmu itu meski Selma nantinya tidak ada di rumah ini, Gibran menganggukkan kepalanya meski sedang mencekik duka yang mendalam. Akhirnya dengan berat hati ia pergi dengan kaki-kaki yang bergetar yang setengah tertatih. Tahu rasanya bahwa seseorang mengambil cintanya di atas nama Agama dan kepatuhan yang padahal dari niat kesemua itu ia tahu betapa terpenjaranya belahan hatinya. Akan tetapi nasib berkata lain layaknya daun yang menguning dan gugur ke bumi bahwa cinta juga bukan hanya soal kepemilikan, lebih dari itu ternyata cinta juga sebuah penyerahan.

Singkat cerita, akhirnya pernikahan itu terjadi Selma dan Gibran dipisahkan dengan jani tali percintaannya. Pertemuan itu hanya ada pada angan-angan dan mimpi semata karena pada hakiktanya pertemuan itu tidak akan pernah terulang kembali dalam dekapan siang baik pun malam di bawah temaram rembulan atau teriknya sang surya. Hingga beberapa waktu lamanya Gibran kembali mengunjungi rumah Selma menengok kerabat ayahnya dalam suasana itu seorang yang sudah lunglai terbaring sakit dihibur oleh kedatangan Gibran dan Selma namun apalah daya dalam pertemuan yang terkahir ini Farris Efandy Karamy menghembuskan nafas terkahirnya, dahsyat seorang Selma yang dalam hidupnya dikurung pada sangkar yang menurutnya penjara baginya dan kehilangan seorang laki-laki terkuat yang dijadikannya tempat untuk sandaran dirinya ketika badai bergejolak, sebagai perisai ketika panah kehidupan menusuk hatinya, sisi lain ia sudah ditinggalkan ibunya sejak kecil kini ia juga harus ditinggalkan oleh ayahnya.

Akan tetapi meski dalam kedaan yang menjerit, di dalam hati kedunya Selma dan Gibran masih tertanam benih cinta yang abadi ia nyatanya dipisahkan oleh nasib tetapi roh dan nyawanya masih menyatu dalam jiwa-jiwa yang terbang bebas di angkasa, kisah cinta yang abadi memang tertanam begitu dalam dan hanya bagi mereka mutiara-mutiara yang terpendam yang sulit ditemukan.

Sesekali sekian tahun lamanya sikap bengis Uskup dan kemenaknnya yang hanya mengincar harta ayah Selma membuatnya muak, dalam hati Mansur Bey Galib yang keji yang sering memainkan wanita lain yang padahal Selma sendirilah sebagai istrinya. Dan atas dasar itu rasa yang terkurung bagi Selma menjadi nyata adanya ia terpenjara sedalam-dalamnya tetapi dalam penghiburannya ia masih menyimpan hati seorang laki-laki tiada lain ia bernama Gibran.

Akhrinya dalam alur yang sekian rumit yang di jalani Selma setelah mendiang ayahnya tiada dan sifat Mansur Bey Galib menjadi-jadi, diam-diam Selma dan Gibran selalu bertemu di dalam kuil. Ia mencuraahkan rindu yang teramat terpendam bertemu sua satu sama lain bercerita bahkan berpeluk mesra untuk meleburkan hatinya satu sama lain, pertemuan itu sering terjadi hingga pada masanya. Pertemuan itu bocor dan dikethuai oleh Uskup dan Kemenaaknnya. Akhrinya Gibran berinisiatif untuk mengajak Selma kabur meninggalkan tempat ini, agar senantiasa ia selalu bisa bersama keduanya dengan negoisasi yang harmonic, namun Selma menolaknya dikarenakan jika ia terjadi dan diketahui oleh Uskup maka tidak tanggung- tanggung Gibran sendiri akan menerima resiko yang sangat berat. Selma tidak mau akan hal itu terjadi.

Bukankah cinta untuk dirinya sendiri, bahkan dari dirimu sendiri, aku menemukan bahwa cinta kita sedalam laut, dan setinggi bintang dan seluas langit, cinta untuk dirinya sendiri, melindungi dirinya sendiri, dan kebenaran itu adalah keluasan hati yang membuat perbuatan kita semua menjadi indah dan mulia, cinta tidak harus bersama namun kita tetap bersama meski tidak bersama. Akhirnya perpisahan itu pecah dengan mengikhlaskan bahwa kita harus berpisah dalam raga namun tidak bagi hati.

Lima tahun berlalu dalam rumah tangga melahirkan keturunan adalah harta yang mewah untuk melanjutkan trah selanjutnya. Namun tidak bagi Selma ia dibenci oleh Mansur Bey Galib karena ia belum bisa memberikannya keturunan, namun dalam harapan yang panjang, tabah serta sabar akhirnya dalam do’a yang panjang dan usaha Selma pun mengandung dan melahirkan anak perempuan. Namun siapa sangka bahwa kelahiran itu hanya sehari memberikan kebahagiaan bagi keluaarga Uskup dan kemenakannya. Sesaat bayi itu lahir dalam prosesnya yang hangat hal yang terjadi atas kehendak Tuhan, dalam semalam lahir sampai sesaat matahari menggantikan tugas rembulan, pagi itu sang bayi mengehmbuskan hidupnya. Selma yang tahu dan menerima kenyataan ini ia sejadinya menangis meski diluar sedang merayakan pesta yang teramat besar namun tidak baginya, di dunia ini ia hanya merasa terpenjara oleh budaya dan adat yang meluakai dirinya sendiri, dalam keadaan itu akhrinya selma menangis sedih sesedihnya sembari memeluk anaknya yang sudah tiada bernyawa itu, dalam dekapan itu Selma berkata. Anakku engkau cukup menjadi penghiburku dalam sehari ini kenapa engkau pergi atau engkau tahu bahwa tiadalah di dunia ini yang engkau rasakaan akan sama seperti apa yang aku rasakan. Jika memang itu baik dan tahu akan kisahnya ajaklah aku dan mari meninggalkan dunia yang termat keji bak penjara yang tidak adil bagi kami, mari anakku. Saat itulah Selma pun ikut mengehmbuskan nafas terakhrinya bersama anaknya dalam dekapan yang termat dalam yang menjadi akhir perjalanan Selma di dunia. Meski dalam Susana duka sang keji ternyata Uskup itu esoknya ia akan menihkahkan kembali kemenaknnya itu dengan perempuan yang lebih kaya dan kuat menurutnya ketimbang dengan Selma.

Lalu bagaimana dengan Gibran yang mendengar kabar ini. Ia bergegas menuju pemakaman dan menyaksikan penguburan Selma, pemakaman yang teramat syahdu pasalnya dalam satu liang lahat, Selma yang memeluk bayinya ternyata berada di tepat atas almarhum ayahnya yakni Farris Efandy Karamy. Tidak berhenti disitu meski dalam keadaan yang sunyi seketika semua orang pergi hanya meyisahkan seorang penggali kubur dan Gibran semata yang akhirnya dalam susana tersebut Gibran berlutut dan menjatuhkan diri di atas makam Selma dan meratap hingga Gibran berkata pada penggali kubur. “Engkau juga menguburkan hatiku”.

“Hati seorang perempuan tidak akan berubah bersama waktu dan musim, bahkan jika ia mati ia tidak akan pernah binasa, hati seorang perempuan seperti sebuah ladang yang dijadikan medan pertempuran, setelah pohon-pohon ditumbangkan dan rumput dibakar dan batu-batu menjadi merah karena darah dan bumi ditanami tulang dan terngkorak hati itu tenang dan hening seakan akan tak ada yang terjadi. Katena musim gugur dan musim semi datang berganti-ganti tak kenal henti”



Penulis : Hadad Fauzi Musthofa, S. Pd

Pria kelahiran Cirebon, 04 Maret 2001 ini menyukai jus alpukat, kesehariannya ia masih sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Membaca, bersepeda dan mengunjungi kota-kota adalah sesuatu yang dia sukai. Pendidikan S1 ia tamatkan di salah satu Kampus di Cirebon yakni IPEBA (Institut Pesantren Babakan Cirebon) dan bermanfaat untuk sesama adalah sekian dari moto hidupnya.