Sudut Pandang Etika Kepemimpinan Jawa Dan Islam


Sudut Pandang Etika  Kepemimpinan Jawa Dan Islam

Kekayaan di Nusantara bukan hanya terletak pada aspek kebendaannya saja melainkan juga terhadap unsur non materi misalnya terhadap sikap budi luhur yang tertanam, salah satunya yang ada pada orang Jawa. 

Orang Jawa, begitu dikenal oleh orang-orang luar, dalam hal ini bukan berarti bahwa suku lain yang ada di Nusantara tidak dikenal, tidak. Sama suku lain pun di kenal terlebih yang mencakup semua itu, Nusantara. Perihal suatu perkara yang dikenal ditimbang dari berbagai aspek, baik secara bahasa, pakaian, cara hidup dan sikap. 

 

Dulu dengan perkasanya nama Nusantara melambung tinggi, bahkan sesampainya bangsa Timur dan Barat tidak enggan untuk menginjakkan kakinya di sini, sebab musababnya banyak dan tugas mereka datang ke sini tiada lain untuk mencari dan mengambil sesuatu yang bisa di ambil sebut saja sumber daya alamnya, bukan hanya itu pada masa itu misi dakwah berbagai Agama pun terjadi di sini dan sampai pada yang kita rasakan salah satunya adalah Agama Islam yang meluas, dan membentang. Dan penulis bersyukur perihal itu. 

 

Nusantara, menurut teori terletak di persimpangan tiga lempeng dunia, pada peta yang di hasilakn Southeat Asia Research Gruop di London, kepulauan Nusantara dulunya merupakan suatu kesatuan  dengan benua Asia. Tetapi, datarannya yang rendah tenggelam ke dasar laut dan hanya gunung-gunung vulkanik dan daerah dataran tinggi bergunung-gunung itu yang tersisa menjadi pulau-pulau. (Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto)

 

Jawa, di dalamnya mengajari berbagai laku aspek dalam padanan kehidupan yang sampai pada saat ini nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih acap kali kita butuhkan. Dari mulai sikap untuk kalem/santai dalam menjalani dan menghadapi hidup, rumongso/merasa atas segala kehidupan dan masih banyak yang lainnya. Akan tetapi penulis di sini akan membahas sebuah etika yang terkandung dalam ajaran orang Jawa terhadap Politik jauh sebelum itu bahwa perlu di ketahui politik di sini berarti sebuah pembagian kekuasaan, cara yang meliputi sikap kepemimpinan pelakunya. Hal ini pun bisa kita terapkan dalam ajang kepemimpinan apa pun terlebih dalam memimpin diri sendiri di dalam hidup. 

 

Dalam sikap pemimpin yang di tanamkan dalam etika Jawa adalah sikap Sepi ing pamrih, tidak boleh terikat oleh hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan dunia. Ia harus bersih dari angkara murka supaya dapat menjadi hening, bening, hawas, dan beling /diam, jernih, awas dan ingat. (Etika Politik, Franz Magnis Suseno) artinya bahwa sikap yang tertanam harus benar-benar sebuah pengabdian, mampu menjaga hawa nafsu agar tidak terjadi kalang kabut terdapat kepentingan sendiri, sebaliknya berarti selalu mementingkan orang lain terlebih dahulu dan selalu mawas diri, ingat serta jernih tidak mudah marah dalam apa pun yang sudah di embannya mampu tidak tergoda oleh sesuatu yang tidak bermanfaat dan akan merusak tatanannya terlebih dirinya. Sebut saja semisal terjadinya KKN  sehingga keadilan yang luhur tidak di dapatkan. 

 

Budi luhur seseorang akan terlihat dalam pola kehidupannya, dari mulai terhadap dirinya sendiri bahkan sampai pada orang lain. Berarti bahwa di dalam etika Jawa tertanam sebuah sistem kebaikan sebagai pola dasar kehidupan yang sudah kita sebut di muka. Pendidikan inilah yang dilahirkan oleh orang Jawa. 

 

Sehingga etika seperti ini juga yang di ajarkan oleh Ulama-Ulama Muslim kita misalnya saja pada Wali 9 yang ada di Nusantara terlebih pada ajaran Tasawufnya gambaran kecilnya saja dalam hidup untuk senantiasa mengekang hawa nafsu buruk, seperti serakah, sombong, ujub, toma’ dan masih banyak lainnya. Salah satunya adalah sebuah pesan yang ditinggalkan oleh Wali penyebar Agama Islam di Jawa Barat Sunan Gunung Jati, Cirebon. Yang berpesan untuk senantiasa welas asih ing sapapada/hendaknya menyayangi terhadap sesama. Untuk menyayangi sesama manusia terlebih semua yang ada di dalam raya ini sehingga dasar itu yang melatar belakangi manusia itu sendiri untuk tidak berani sewenang-wenang dalam hidpunya. (Islam, Budaya Dan Permasalahan Sosial, Dr. Ahmad Sururi, M.phil dalam sebuah antologi Pc ISNU Kab. Cirebon). 

 

Pendidikan itulah yang lahir semenjak dulu hingga sampai pada masa sekarang nilai yang terkandung di dalamnya perlu untuk kita tiru dan laksanakan agar senantiasa perubahan-perubahan terhadap diri kita terjadi sehingga paling tidak kita mampu memposisikan diri kita sebagai agen kebaikan baik untuk diri kita sendiri atau pun untuk banyak orang lainnya. 

 


Hadad Fauzi Musthofa, kelahiran Cirebon, 04 Maret 2001. Salah satu Mahasiswa PAI semester 6 di Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Ali (STAIMA) Cirebon.

Post a Comment

0 Comments